Andreas_Ceperist@ymail.com

Senin, 25 November 2013

penerapan GCG dipemerintah


D. Penerapan GCG di Pemerintah

        LKM sebagai lembaga keuangan memiliki wewenang menghimpun dana masyarakat dalam bentuk tabungan dan deposito. Sebagai perusahaan, LKM juga memiliki wewenang untuk mendapatkan dana dari kreditur ataupun investor. Perlindungan hukum kepada pihak pemilik dana ini tentunya harus memadai untuk mengantisipasi kemungkinan penyalahgunanaan wewenang oleh pihak tertentu. Sebagai Lembaga Mikro dengan segmentasi pasar masyarakat kecil dan mikro serta sebagian masyarakat menengah, potensi sumber dana yang bisa digarap cukup besar. Disisi lain aturan yang membatasi jumlah dana yang boleh dihimpun LKM relatif lebih longgar terutama dari sisi pengawasan. Dibanding Bank Umum dimana posisi likuiditasnya bisa terpantau oleh Bank Sentral baik secara makro ataupun mikro, sebagian besar LKM bisa dibilang luput dari pengawasan terinci menyangkut tanggung jawab terhadap dana masyarakat ini. Dengan kondisi ini, besar potensi terjadinya ketidakseimbangan hak dan kewajiban antara masyarakat penabung, kreditur, investor dengan pihak LKM sebagai pengelola dana. Perlindungan terhadap dana masyarakat serta mekanisme tanggung jawab pihak LKM kepada masyarakat belum memadai. Pada tahap ini, penerapan prinsip-prinsip GCG secara benar, sedikit banyak akan membantu terbentukanya sistem yang lebih berkeadilan, bertanggung jawab, transparan, dan berakuntabilitas.
Cost & Benefit penerapan GCG di LKM
Isu Cost & Benefit menjadi hal yang mendasar jika GCG diterapkan di LKM. Sebagai suatu sistem, implementasi GCG akan membutuhkan biaya dan alokasi sumber daya perusahaan. Penerapan GCG juga harus ditunjang dengan organ-organ GCG yang memadai untuk menjamin terlaksananya GCG sebagaimana yang diharapkan. Kesemua hal ini secara pasti akan meningkatkan pengeluaran perusahaan sementara dilain pihak dampak positifnya belum akan terlihat dalam waktu yang singkat. Penerapan GCG didalam perusahaan juga tidak akan serta merta meningkatkan nilai perusahaan. Diperlukan suatu proses dan pembelajaran bagi perusahaan terutama LKM untuk bisa mewujudkan penerapan GCG yang efisien dan efektif. Sementara itu, kebutuhan mendasar LKM hingga saat ini, belum sampai pada tahap advance, melainkan masih terpaku pada permasalah mendasar seputar profitabilitas dan kesinambungan usaha. Tingkat keuntungan usaha lembaga keuangan sangat tergantung kepada volume usahanya, sementara LKM masih mengalami kendala seputar minimnya modal untuk tujuan pengembangan usahanya. Namun demikian hal ini belum berarti bahwa GCG tidak mungkin diterapkan di LKM. Prinsip-prinsip GCG bisa diterapkan dengan perangkat yang sederhana misalkan adanya aturan dan komitmen memenuhinya. GCG jika diterapkan di LKM, perlu konsep dan model yang sederhana namun efektif guna menjamin prinsip GCG dijalankan namun dengan beban yang ringan.

Komentar : Dengan kondisi ini, besar potensi terjadinya ketidakseimbangan hak dan kewajiban antara masyarakat penabung, kreditur, investor dengan pihak LKM sebagai pengelola dana.
Sumber : Business Associate Berkah Madani School of Microfinance

penerapan GCG BUMN


C. Penerapan GCG pada BUMN
Penerapan prinsip-prinsip GCG bukan hanya di Kantor Direksi tetapi meliputi seluruh jajaran perusahaan baik pada Bagian, Kantor Group Unit Usaha. Prinsip-prinsip GCG akan tercermin dalam imolementasi Code of Conduct (Pedoman Perilaku). Karena penerapan GCG akan berdampak kepada peningkatan nilai termasuk bagi pelaku bisnis, maka seluruh pelaku bisnis perusahaan sepakat dan bertekad mendukung GCG pada PTPN IV (Persero). Terdapat enam hal tujuan dari penerapan GCG pada BUMN.
1)  Memaksimalkan nilai BUMN dengan cara meningkatkan prinsip keterbukaan, akuntabilitas, dapat dipercaya, bertanggung jawab, dan adil agar perusahaan memiliki daya saing yang kuat, baik secara nasional maupun internasional.
2)  Mendorong pengelolaan BUMN secara profesional, transparan dan efisien, serta memberdayakan fungsi dan meningkatkan kemandirian organ.
3)  Mendorong agar organ dalam membuat keputusan dan menjalankan tindakan dilandasi nilai moral yang tinggi dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta kesadaran akan adanya tanggung jawab sosial BUMN terhadap stakeholder maupun kelestarian lingkungan di sekitar BUMN.
4)  Meningkatkan kontribusi BUMN dalam perekonomian nasional.
5)  Meningkatkan iklim investasi nasional.
6)  Mensukseskan program privatisasi.
Adapun keuntungan yang diperoleh dengan menerapkan Corporate Governance pada perusahaan adalah:
1)  Lebih mudah meningkatkan modal
2)  Mengurangi biaya modal
3)  Meningkatkan kinerja perusahaan dan kinerja keuangan
4)  Memberikan dampak yang baik terhadap harga saham.
             Penerapan GCG dapat meningkatkan nilai perusahaan, dengan meningkatkan kinerja keuangan, mengurangi risiko yang mungkin dilakukan oleh dewan dengan keputusan yang menguntungkan diri sendiri, dan umumnya Corporate Governance dapat meningkatkan kepercayaan investor. Corporate Governance yang buruk menurunkan tingkat kepercayaan investor, lemahnya praktik GCG merupakan salah satu faktor yang memperpanjang krisi ekonomi di Negara kita. Pemerintah melalui kantor kementrian BUMN maupun otoritas pasar modal dalam hal ini Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM) dan direksi Bursa Efek Indonesia (pada saat itu masih Bursa Efek Jakarta) telah mewajibkan BUMN dan Emiten untuk menerapkan kebijakan GCG yang bertujuan menciptakan kepastian hukum yang bermuara kepada perlindungan investor dan masyarakat. Focus utama penerapan GCG saat ini adalah di lingkungan BUMN dan perusahaan terbuka, namun kenyataannya konsep GCG masih belum dipahami dengan baik oleh sebagian besar pelaku usaha. Penerapan GCG di organisasi publik, bank maupun BUMN, dirahapkan dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat, untuk mengantisipasi persaingan yang ketat di era pasar bebas, tanggung jawab sosial perusahaan dan etika bisnis. Suatu bisnis tidak hanya dijalankan dengan modal uang saja, tetapi juga dengan tanggung jawab dan moralitas perusahaan terhadap stakeholders dan masyarakat. Penerapan GCG tidak dapat dilepaskan dari moral dan etika para pelaku bisnis, yang selayaknya dituangkan dalam suatu standar baku di masing-masing perusahaan yang disebut Corporate Code of Conduct. Privatisasi memungkinkan penerapan GCG dengan lebih baik dan konsisten di lingkungan BUMN, yang pada gilirannya menumbuhkan keyakinan investor kepada BUMN. Bagi Indonesia, dengan aktivitas BUMN yang hampir menyentuh berbagai sektor ekonomi nasional, tumbuhnya keyakinan investor terhadap BUMN akan sangat berpengaruh secara keseleruhan. Privatisasi memungkinkan penerapan GCG dengan lebih baik dan konsisten di lingkungan BUMN, yang pada gilirannya menumbuhkan keyakinan investor kepada BUMN. Bagi Indonesia, dengan aktivitas BUMN yang hampir menyentuh berbagai sektor ekonomi nasional, tumbuhnya keyakinan investor terhadap BUMN akan sangat berpengaruh secara keseleruhan.
Komentar :
Penerapan GCG tidak dapat dilepaskan dari moral dan etika para pelaku bisnis, yang selayaknya dituangkan dalam suatu standar baku di masing-masing perusahaan yang disebut Corporate Code of Conduct.
Sumber :

penerapan GCG


B. Penerapan GCG Perbankan
Penerapan prinsip-prinsip Good Corporate Governance menjadi suatu keniscayaan bagi sebuah institusi, termasuk bagi lembaga keuangan seperti bank syari’ah. Hal ini berkaitan dengan tanggung jawab kepada masyarakat atas kegiatan operasioanal bank yang diharapkan benar-benar mematuhi ketentuan-ketentuan dalam peraturan-peraturan yang berlaku Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 200 tentang Perbankan Syari’ah. Secara yuridis bank syari’ah bertanggung jawab kepada banyak pihak (stakeholders), yaitu nasabah penabung, pemegang saham, investor obligasi, bank koresponden, regulator, pegawai, pemasok, masyarakat, dan lingkungan, sehingga penerapan GCG menjadi suatu kebutuhan bagi bank syari’ah. Penerapan GCG merupakan wujud pertanggungjawaban kepada masyarakat bahwa bahwa bank syari’ah dikelola dengan baik, profesional, dan hati-hati dengan tetap berupaya meningkatkan nilai pemegang saham tanpa mengabaikan kepentingan stakeholders lainnya. Dengan demikian bahwa penerapan prinsip-prinsip GCG dalam sebuah operasioanl perusahaan terutama yang bergerak dalam bidang keuangan seperti bank terutama bank syari’ah sangatlah penting. Karena dalam operasionalnya, pihak bankir dituntut untuk selalu melaksanakan prinsip kehati-hatian bank dalam memberikan jasa dan layanan keuangan kepada masyarakat. Bank Indonesia sebagai pemegang otoritas perbankan harus mampu melakukan penilaian dan penindakan terhadap pelaksanaan GCG bank.
Bank wajib melaksanakan prinsip-prinsip GCG dalam setiap kegiatan usahanya pada seluruh tingkatan atau jenjang organisasi termasuk pada saat penyusunan visi, misi, rencana strategis, pelaksanaan kebijakan dan langkah-langkah pengawasan internal. Cakupan penerapan prinsip-prinsip GCG dimaksud paling kurang harus diwujudkan dalam:
1.    pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Komisaris dan Direksi;
2.    kelengkapan dan pelaksanaan tugas komite-komite dan satuan kerja yang menjalankan fungsi pengendalian intern bank;
3.    penerapan fungsi kepatuhan, auditor internal dan auditor eksternal;
4.    penerapan manajemen risiko, termasuk sistem pengendalian intern;
5.    penyediaan dana kepada pihak terkait dan penyediaan dana besar;
6.    rencana strategis Bank;
7.    transparansi kondisi keuangan dan non keuangan Bank.

Seiring dengan tuntutan penerapan GCG pada sektor perbankan, maka pada tahun 2006 Bank Indonesia menggagas peraturan yang secara khusus mengatur mengenai ketentuan pelaksanaan GCG di Bank Umum. Peraturan yang dimaksud adalah Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/4/PBI/2006 tanggal 30 Januari 2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank Umum yang kembali disempurnakan melalui PBI No. 8/14/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006 tentang Perubahan Atas PBI No. 8/4/PBI/2006, kemudian disempurnakan lagi PBI Nomor 11/33/PBI/2009 tanggal 7 Desember 2009 dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 12/13/DPbs tanggal 30 April 2010 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank Umum Syari’ah dan Unit Usaha Syari’ah. Peraturan ini menegaskan bahwa pelaksanaan GCG pada industri perbankan harus senantiasa berlandaskan pada lima prinsip dasar yakni keterbukaan (transparency), akuntabilitas (accountability), pertanggungjawaban (responsibility), independensi (independency), dan kewajaran (fairness). Dalam pelaksanaan GCG tersebut, diperlukan keberadaaan Komisaris Independen dan Pihak Independen. Keberadaan pihak-pihak independen tersebut, diharapkan dapat mengatasi dampak moral hazard dan menciptakan check and balance, menghindari benturan kepentingan (conflik of interest) dalam pelaksanaan tugasnya serta melindungi kepentingan stakeholders khususnya pemilik dana dan pemegang saham minoritas. Selain itu, PBI ini juga mewajibkan bank untuk menyampaikan Laporan Pelaksanaan GCG pada setiap akhir tahun buku dan paling lambat 5 bulan setelah tahun buku berakhir. Bagi bank yang tidak memenuhi ketentuan dalam PBI ini akan dikenakan sanksi. Selain itu, pelaksanaan GCG harus mempunyai beberapa perangkat dasar, antara lain: 
(1) sistem pengendalian intern
(2) manajemen resiko
(3) ketentuan yang mengarah pada peningkatan keterbukaan informasi
(4) sistem akuntansi
(5) mekanisme jaminan kepatuhan syari’ah
(6) audit ekstern. 


Komentar :
Dari keenam perangkat tersebut pada dasarnya berlaku bagi semua bank baik bank konvensional maupun bank syari’ah. Yang membedakannya adalah bahwa di bank syari’ah perlu adanya perangkat yang dapat menjamin kepatuhan kepada nilai-nilai syari’ah. Hal demikian tidak dijumpai dalam sistem perbankan konvensional.

Sumber : Bank ICB Bumiputera Annual Report 2011

Rabu, 30 Oktober 2013

Praktek CSR

Praktek CSR Dalam Suatu Perusahaan
CSR juga sudah diterapkan pada perusahaan BUMN. Perusahaan-perusahaan pelat merah telah lama menerapkan CSR dengan cara memberikan bantuan kepada pihak ketiga dalam bentuk pembangunan fisik. Kewajiban itu diatur dalam Keputusan Menteri BUMN maupun Menteri Keuangan sejak tahun 1997. ”oleh karena itu, perusahaan yang ada di Indonesia sudah waktunya turut serta memikirkan hal-hal yang berkaitan dengan lingkungan dimana perusahaan itu berada”. 
Tren globalisasi menunjukkan hal-hal yang berkaitan dengan lingkungan sudah menjadi hal yang mendesak bagi kepentingan umat manusia secara keseluruhan. Lingkungan hidup yang sehat merupakan bagian dari hak azasi manusia. Di Inggris dan Belanda misalnya, CSR menjadi sebuah penilaian hukum oleh otoritas pasar modal, disamping penilaian dari publik sendiri. ”Kalau perusahaan itu tidak pernah melakukan CSR justru kinerja saham di bursa saham kurang bagus”.




Artikel CSR

CSR Lingkungan : Kontribusi Swasta Menghijaukan Kota
Hunian kota yang tidak hanya tertata, aman, dan indah tetapi juga memiliki harmonisasi dengan lingkungan alam sekitarnya merupakan kawasan hunian idaman kita semua. Untuk mewujudkan impian tersebut, tidak hanya perlu kebijakan serta perencanaan dan penataan ruang dari pemerintah maupun peran aktif masyarakat saja. Partisipasi kalangan swasta, terutama perusahaan-perusahaan besar, juga penting di dalam mewujudkan kota hijau yang berkelanjutan. Perputaran roda industri tidak hanya ditopang oleh keberadaan sumber daya manusia saja, melainkan juga sumber daya alam. Dari alamlah pabrik-pabrik memperoleh bahan baku untuk dapat membuat produk-produknya. Seiring dengan berkembangan teknologi, berbagai sumber daya alam, seperti pohon dan tumbuhan, batu bara, minyak bumi, gas, air, tanah, beserta binatang-binatang yang mendiaminya, dalam waktu singkat berubah menjadi tumpukan kertas, bahan bakar berbagai mesin, lahan perkebunan dan pertanian, maupun produk makanan serta minuman jadi yang diproduksi secara massal. Sayangnya, alam tidak lagi seimbang akibat  terlalu banyak dieksploitasi dan dicemari.
 Tatkala berbagai bencana alam kian sering terjadi dan perubahan cuaca serta pemanasan global menjadi isu yang mulai ditakuti, baru manusia tersadar untuk memperhatikan lingkungan alam yang diterlantarkannya. Semua kalangan di belahan dunia mulai menyadari pentingnya melakukan tindakan untuk mencegah, menjaga, dan mengurangi kerusakan lingkungan, tak terkecuali para kalangan pengusaha. Corporate Social Responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial perusahaan merupakan salah satu sarana bagi perusahaan-perusahaan, terutama yang usahanya terkait dengan sumber daya alam, untuk menyeimbangkan antara keuntungan ekonomi dengan kontribusinya bagi ekonomi masyarakat, sosial, dan lingkungan demi mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Di Indonesia, kewajiban bagi perusahaan untuk melakukan kegiatan-kegiatan CSR tercantum di dalam UU 40 Tahun 2007 pasal 74 tentang Perseroan Terbatas. Ayat 1 menyatakan perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Ayat 2 berbunyi tanggung jawab sosial dan lingkungan itu merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memerhatikan kepatutan dan kewajaran. Ayat 3 menggariskan perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana Pasal 1 dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat 4 menyatakan ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab dan lingkungan diatur dengan peraturan pemerintah. Beragam kegiatan CSR yang dilakukan demi melestarikan keberlanjutan lingkungan alam secara langsung maupun melalui kerja sama dengan pemangku kebijakan lainnya. Kegiatan CSR lingkungan biasanya berupa kampanye, pemberian bantuan pendidikan maupun pelatihan, penanaman pohon, pembuatan ruang terbuka hijau maupun taman, penghematan sumber daya alam yang digunakan di pabrik ataupun toko, pengajaran hingga pengaplikasian daur ulang serta penggunaan kembali produk-produknya. 
Kegiatan-kegiatan CSR berperspektif lingkungan hidup yang dilakukan perusahaan-perusahaan di atas merupakan sedikit dari aksi menjaga kelestarian alam yang harus terus dilakukan seluruh pemangku kebijakan, termasuk kalangan pengusaha. Bagaimanapun bumi yang kita tempati hanyalah satu. Jika bumi ini rusak, maka musnahlah kehidupan yang ada di dalamnya. Sebagaimana orang bijak berkata, “Ketika pohon terakhir telah ditebang, ketika ikan terakhir telah mati, ketika sungai terakhir telah tercemar, barulah manusia akan sadar bahwa manusia tidak bisa makan uang.”

Senin, 21 Oktober 2013


ETIKA BISNIS


1.   Pengertian Etika Bisnis

Etika bisnis merupakan cara untuk melakukan kegiatan bisnis, yang mencakup seluruh aspek yang berkaitan dengan individu, perusahaan dan juga masyarakat. Etika Bisnis dalam suatu perusahaan dapat membentuk nilai, norma dan perilaku karyawan serta pimpinan dalam membangun hubungan yang adil dan sehat dengan pelanggan/mitra kerja, pemegang saham, masyarakat. Perusahaan meyakini prinsip bisnis yang baik adalah bisnis yang beretika, yakni bisnis dengan kinerja unggul dan berkesinambungan yang dijalankan dengan mentaati kaidah-kaidah etika sejalan dengan hukum dan peraturan yang berlaku. Etika Bisnis dapat menjadi standar dan pedoman bagi seluruh karyawan termasuk manajemen dan menjadikannya sebagai pedoman untuk melaksanakan pekerjaan sehari-hari dengan dilandasi moral yang luhur, jujur, transparan dan sikap yang profesional.

2.      Indikator Etika Bisnis

Kehidupan bisnis modern menurut banyak pengamat cenderung mementingkan keberhasilan material. Menempatkan material pada urutan prioritas utama, dapat mendorong para pelaku bisnis dan masyarakat umum melirik dan menggunakan paradigma dangkal tentang makna dunia bisnis itu sendiri. Sesungguhnya dunia binis tidak sesadis yang dibayangkan orang dan material bukanlah harga mati yang harus diupayakan dengan cara apa yang dan bagaimanapun. Dengan paradigma sempit dapat berkonotasi bahwa bisnis hanya dipandang sebagai sarana meraih pendapatan dan keuntungan uang semata, dengan mengabaikan kepentingan lainnya. Organisasi bisnis dan perusahaan dipandang hanya sekedar mesin dan sarana untuk memaksimalkan keuntungannya dan dengan demikian bisnis semata-mata berperan sebagai jalan untuk menumpuk kekayaan dan bisnis telah menjadi jati diri lebih dari mesin pengganda modal atau kapitalis. Dari sudut pandang etika, keuntungan bukanlah hal yang baru, bahkan secara moral keuntungan merupakan hal yang baik dan diterima. Alasannya adalah sebagai berikut:
1. Secara moral keuntungan memungkinkan organisasi/perusahaan untuk bertahan dalam kegiatan bisnisnya.
2. Tanpa memperoleh keuntungan tidak ada pemilik modal yang bersedia menanamkan modalnya, dan karena itu berarti tidak akan terjadi aktivitas yang produktif dalam memacu pertumbuhan ekonomi.
3. Keuntungan tidak hanya memungkinkan perusahaan bertahan melainkan dapat menghidupi karyawannya ke arah tingkat hidup yang lebih baik. Keuntungan dapat dipergunakan sebagai pengembangan perusahaan sehingga hal ini akan membuka lapangan kerja baru.

Implementasi etika dalam penyelenggaraan bisnis mengikat setiap personal menurut bidang tugas yang diembannya. Dengak kata lain mengikat manajer, pimpinan unit kerja dan kelembagaan perusahaan. Semua anggota organisasi/perusahaan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi harus menjabarkan dan melaksanakan etika bisnis secara konsekuen dan penuh tanggung jawab. Dalam pandangan sempit perusahaan dianggap sudah dianggap melaksanakan etika bisnis bilamana perusahaan yang bersangkutan telah melaksanakan tanggung jawab sosialnya. Dari berbagai pandangan etika bisnis, beberapa indikator yang dapat dipakai untuk menyatakan bahwa seseorang atau perusahaan telah mengimplementasikan etika bisnis antara lain adalah:

1.   Indikator Etika Bisnis menurut ekonomi adalah apabila perusahaan atau pebisnis telah melakukan pengelolaan sumber daya bisnis dan sumber daya alam secara efisien tanpa merugikan masyarakat lain.
2.   Indikator Etika Bisnis menurut peraturan khusus yang berlaku. Berdasarkan indikator ini seseorang pelaku bisnis dikatakan beretika dalam bisnisnya apabila masing-masing pelaku bisnis mematuhi aturan-aturan khusus yang telah disepakati sebelumnya.
3.   Indikator Etika Bisnis menurut hukum. Berdasarkan indikator hukum seseorang atau suatu perusahaan dikatakan telah melaksanakan etika bisnis apabila seseorang pelaku bisnis atau suatu perusahaan telah mematuhi segala norma hukum yang berlaku dalam menjalankan kegiatan bisnisnya.
4.   Indikator Etika Bisnis berdasarkan ajaran agama. Pelaku bisnis dianggap beretika bilamana dalam pelaksanaan bisnisnya senantiasa merujuk kepada nilai-nilai ajaran agama yang dianutnya.
5.   Indikator Etika Bisnis berdasarkan nilai budaya. Setiap pelaku bisnis baik secara individu maupun kelembagaan telah menyelenggarakan bisnisnya dengan mengakomodasi nilai-nilai budaya dan adat istiadat yang ada disekitar operasi suatu perusahaan, daerah dan suatu bangsa.
6.   Indikator Etika Bisnis menurut masing-masing individu adalah apabila masing-masing pelaku bisnis bertindak jujur dan tidak mengorbankan integritas pribadinya.
3.      Prinsip Etika dalam Berbisnis
Secara umum, prinsip-prinsip yang dipakai dalam bisnis tidak akan pernah lepas dari kehidupan keseharian kita. Namun prinsip-prinsip yang berlaku dalam bisnis sesungguhnya adalah implementasi dari prinsip etika pada umumnya.

a.      Prinsip Otonomi
Orang bisnis yang otonom sadar sepenuhnya akan apa yang menjadikewajibannya dalam dunia bisnis. la akan sadar dengan tidak begitu sajamengikuti saja norma dan nilai moral yang ada, namun juga melakukansesuatu karena tahu dan sadar bahwa hal itu baik, karena semuanya sudah dipikirkan dan dipertimbangkan secara masak-masak. Dalam kaitan ini salah satu contohnya perusahaan memiliki kewajiban terhadap para pelanggan, diantaranya adalah:
(1)       Memberikan produk dan jasa dengan kualitas yang terbaik dan sesuaidengan tuntutan mereka;
(2)       Memperlakukan pelanggan secara adil dalam semua transaksi, termasuk pelayanan yang tinggi dan memperbaiki ketidakpuasan mereka;
(3)    Membuat setiap usaha menjamin mengenai kesehatan dan keselamatanpelanggan, demikian juga kualitas Iingkungan mereka, akan dijagakelangsungannyadan ditingkatkan terhadap produk  dan  jasaperusahaan;
(4)       Perusahaan harus menghormati martabat manusia dalam menawarkan,memasarkan dan mengiklankan produk.
Untuk bertindak otonom, diandaikan ada kebebasan untuk mengambil keputusan dan bertindak berdasarkan keputusan yang menurutnya terbaik. karena kebebasan adalah unsur hakiki dari prinsip otonomi ini. Dalam etika, kebebasan adalah prasyarat utama untuk bertindak secara etis, walaupun kebebasan belum menjamin bahwa seseorang bertindak secara otonom dan etis. Unsur lainnya dari prinsip otonomi adalah tanggungjawab, karena selain sadar akan kewajibannya dan bebas dalam mengambil keputusan dan tindakan berdasarkan apa yang dianggap baik, otonom juga harus bisa mempertanggungjawabkan keputusan dan tindakannya (di sinilah dimung-kinkan adanya pertimbangan moral). Kesediaan bertanggungjawab merupakan ciri khas dari makhluk bermoral, dan tanggungjawab disini adalah tanggung jawab pada diri kita sendiri dan juga tentunya pada stakeholder.

b.      Prinsip Kejujuran
Bisnis tidak akan bertahan lama jika tidak ada kejujuran, karena kejujuran merupakan modal utama untuk memperoleh kepercayaan dari mitra bisnis-nya, baik berupa kepercayaan komersial, material, maupun moril. Kejujuran menuntut adanya keterbukaan dan kebenaran. Terdapat tiga lingkup kegiatan bisnis yang berkaitan dengan kejujuran:
1.            Kejujuran relevan dalam pemenuhan syarat-syarat perjanjian dankontrak. Pelaku bisnis disini secara a priori saling percaya satu samalain, bahwa masing-masing pihak jujur melaksanakan janjinya. Karenajika salah satu pihak melanggar, maka tidak mungkin lagi pihak yangdicuranginya mau bekerjasama lagi, dan pihak pengusaha lainnya akan tahu dan tentunya malas berbisnis dengan pihak yang bertindak curangtersebut.
2.            Kejujuran relevan dengan penawaran barang dan jasa dengan mutu dan harga yang baik. Kepercayaan konsumen adalah prinsip pokok dalam berbisnis. Karena jika ada konsumen yang merasa tertipu, tentunya hal tersebut akan rnenyebar yang menyebabkan konsumen tersebut beralih ke produk lain.
3.            Kejujuran relevan dalam hubungan kerja intern dalam suatu perusahaan yaitu   antara   pemberi    kerja   dan   pekerja, dan berkait dengan kepercayaan. Perusahaan akan hancur jika kejujuran karyawan ataupunatasannya tidak terjaga.

c.       Prinsip Keadilan
Prinsip ini menuntut agar setiap orang diperlakukan secara sama sesuai dengan aturan yang adil dan kriteria yang rasional objektif dan dapatdipertanggungjawabkan. Keadilan berarti tidak ada pihak yang dirugikan hakdan kepentingannya. Salah satu teori mengenai keadilan yang dikemukakan oleh Aristoteles adalah:
1.            Keadilan legal. Ini menyangkut hubungan antara individu atau kelompok masyarakat  dengan negara. Semua  pihak dijamin untuk mendapat perlakuan yangsama sesuai dengan hukum yang berlaku. Secara khusus dalam bidang bisnis, keadilan legal menuntut agar  Negara bersikap netral dalam memperlakukan semua pelaku ekonomi, negara menjamin kegiatan bisnis yang sehat dan baik dengan mengeluarkan aturan dan hukum bisnis yang berlaku secara sama bagi semua pelaku bisnis.
2.            Keadilan komunitatif. Keadilan ini mengatur hubungan yang adil antaraorang yang satu dan yang lain. Keadilan ini menyangkut hubunganvertikal antara negara dan warga negara, dan hubungan horizontal antarwarga negara. Dalam bisnis keadilan ini berlaku sebagai kejadian tukar, yaitu menyangkut pertukaran yang fair antara pihak-pihak yang terlibat.
3.            Keadilan distributif. Atau disebut juga keadilan ekonomi, yaitu distribusi ekonomi yang merata atau dianggap adil bagi semua warga negara. Dalam dunia bisnis keadilan ini   berkaitan dengan prinsip perlakuan yang sama sesuai dengan aturan dan ketentuan   dalam perusahaan yang juga adil dan baik.

d.      Prinsip Saling Menguntungkan
Prinsip ini menuntut agar semua pihak berusaha untuk saling menguntungkan satu sama lain. Dalam dunia bisnis, prinsip ini menuntut persaingan bisnis haruslah bisa melahirkan suatu win-win situation.
REFERENSI
Perusahaan yang menerapkan etika bisnis adalah PT POS Indonesia. Alasannya untuk :
a. Mengidentifikasikan nilai-nilai dan standar etika selaras dengan Visi dan Misi perusahaan.
b. Menjabarkan Tata Nilai sebagai landasan etika yang harus diikuti oleh insan POS INDONESIA dalam melaksanakan tugas.
c. Menjadi acuan perilaku insan POS INDONESIA dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab masing-masing dan berinteraksi dengan stakeholders perusahaan.